Indonesia
cukup konsisten dalam urusan korupsi. Hasil survei Transparency International
tentang indeks persepsi korupsi (IPK) 2011 menyebutkan republik ini berada di
peringkat ke-100 dari 183 negara, dengan skor 3,0. Hanya naik 0,2 poin dari
skor dua tahun berturut-turut. Survei itu menggunakan rentang indeks 0
(dipersepsikan sangat korup) hingga 10 (dipersepsikan sangat bersih dari
korupsi).
Korupsi
mulai membahayakan masa depan bangsa ini. Perilaku korup yang mewarnai
kehidupan bernegara sekarang terjadi karena pergeseran nilai-nilai luhur,
padahal nilai-nilai luhur tersebut merupakan kepribadian dari bangsa Indonesia.
Moral, etika, dan keadilan sebagai jiwa hukum pun sudah menghilang sejak
pembentukan sampai penegakan hukum dan telah dipisahkan dari implementasi
hukum.
Sejumlah
kasus calo anggaran atau jual-beli legislasi telah terungkap di persidangan,
namun tidak berlanjut pada penindakan anggota DPR. Perkara Wisma Atlet yang
memopulerkan nama mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin,
dan anggaran transmigrasi yang disinyalir ada aliran dana kepemimpinan Badan
Anggaran juga menjadi contoh tindak korupsi yang tidak kalah penting dari kasus
Century yang dinilai merugikan negara Rp 6,7 trilyun. Belum lagi kasus suap cek
pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda S. Goeltom..
Ada juga kasus korupsi dan mafia pajak yang terkait dengan Gayus Tambunan.
Tiga
pilar demokrasi pada level suprastruktur, yakni legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, pun terkontaminasi korupsi. Pilar legislatif sangat korup, berisi
orang-orang tak kredibel, dan berurusan dengan penegak hukum. Pilar eksekutif,
dari pusat sampai daerah, juga diselimuti oleh KKN dan birokrasi yang
berbelit-belit. Pilar yudikatif pun begitu. Selain dihukum karena pelanggaran kode
etik, banyak hakim yang dikirim ke pengadilan karena korupsi. Banyak jaksa yang
tertangkap tangan menerima suap dan polisi dinilai tidak profesional dan tidak
independen dalam menjalankan tugasnya. Untunglah, pers sebagai pilar keempat
demokrasi masih cukup sehat. Walau kebebasan pers saat ini kebablasan dan
dinilai suka mendramatisasi, namun pers kita masih independen dan mampu
mengajak masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Terkontaminasinya
tiga pilar demokrasi itu menyebabkan masyarakat seakan kehilangan asa untuk
keluar dari kepungan korupsi yang menggurita. Namun hal ini tak boleh diartikan
bahwa korupsi tidak bisa lagi diberantas. Kita bisa menjadi bangsa yang apatis
dan menyerah pada keadaan sehingga tidak bergairah untuk melawan korupsi.
Saat
ini rasa peduli terhadap isu-isu korupsi dan isu-isu kemaslahatan rakyat, seperti
berbagai kejahatan, kerusuhan, dan bencana, telah melemah. Sekarang ini,
masyarakat tidak lagi kaget kalau mendengar ada korupsi ratusan juta atau
milyaran rupiah, sebab yang selalu didengar setiap hari adalah korupsi puluhan
atau ratusan milyar bahkan trilyunan rupiah. Korupsi ratusan juta atau milyaran
rupiah tersebut sudah dianggap biasa karena terjadi terus menerus. Sekarang
ini, masyarakat hanya tersentak sebentar jika mendengar ada kecelakaan transportasi
umum, kerusuhan, atau ambruknya jembatan, karena kejadian-kejadian tersebut
memang selalu dan biasa terjadi. Semua itu merupakan sinyal, tanda bangsa ini
sedang meluncur menuju kehancuran. Hal ini lalu memunculkan pertanyaan: Untuk
apa kita bernegara? Apakah pemerintah masih ada?
Ketidakpercayaan
rakyat pada institusi negara, penyerangan pengadilan dan pemblokiran jalan juga
merupakan hal yang biasa terjadi saat ini. Bentuk-bentuk anarkisme tersebut kerap
terjadi sebagai bentuk kekecewaan dan frustasi masyarakat atas masalah-masalah
di negara ini yang didampingi oleh ketiadaan solusi. Keadaan seperti ini sangat
mengkhawatirkan dan jika tidak segera diatasi akan menghancurkan keutuhan
bangsa dan negara kita.
Tampaknya, bangsa ini sulit menyembuhkan
penyakit-penyakit yang merajelala tersebut. Padahal, penyakit dan cara
penyembuhannya sebenarnya sudah diketahui. Semua pakar, profesor, doktor,
pejuang LSM sudah berbicara dan menunjukkan problem lengkap dengan solusinya. Ironisnya,
banyak pejuang-pejuang anti korupsi tersebut yang kemudian ikut masuk penjara
karena korupsi setelah mendapatkan posisi.
Pada
saat ini, kita memerlukan kepemimpinan yang kuat, bukan dalam arti otoriter,
melainkan kepemimpinan yang berani dan berintegritas. Kepemimpinan yang tidak terkontaminasi
korupsi dan tidak mudah dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Perlunya
pembenahan proses perizinan usaha, pajak, dan bea cukai yang terkait dengan
birokrasi pemerintahan. Perbaikan menyeluruh pada kinerja institusi penegak
hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pengadilan. Serta melakukan
penegakan hukum yang keras terhadap politisi, mafia hukum, dan pejabat publik
tingkat tinggi yang terlibat korupsi.
Kepemimpinan
yang kita butuhkan adalah kepemimpinan yang bersih dan berani. Keberanian tanpa
kebersihan dalam kepemimpinan sangatlah berbahaya, tetapi kebersihan tanpa
keberanian dalam memimpin juga tidak akan efektif. Korupsi merupakan
extraordinary crime, oleh karena itu dibutuhkan kinerja dan prestasi yang luar
biasa dari sebuah kepemimpinan. Sinergitas dan komunikasi diantara seluruh
institusi pun perlu dibangun agar pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan
baik. Harus adanya komitmen yang kuat dalam mewujudkan Indonesia yang bebas
korupsi.
Oleh: Risky Edy Nawawi
Oleh: Risky Edy Nawawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar